REVIEW JURNAL : “PERAN BADAN REINTEGRASI DAMAI ACEH (BRDA) DALAM PROSES DISARMAMENT, DEMOBILITATION, DAN REINTEGRATION (DDR) DI ACEH PASCA PERJANJIAN HELSINKI 2005
Dalam jurnal yang berjudul “Peran Badan Reintegrasi Damai Aceh (BRDA) dalam Proses Disarmament, Demobilitation, dan Reintegration (DDR) di Aceh Pasca Perjanjian Helsinki 2005” karangan Fakhrurrazi (Dosen Universitas Malikussaleh Lhokseumawe, Aceh) memang banyak mengandung nilai-nilai sosial politik di dalamnya. Hal ini sangat menarik saya untuk mereview kembali dipandang dari ilmu sosiologi yang nantinya bisa kita kaitkan dengan teori-teori yang mendukung, yaitu teori konflik maupun teori integrasi.
Dituliskan dalam jurnal tersebut bahwa setelah terjadinya bencana alam tsunami di Aceh yang banyak menelan korban jiwa membuat petinggi GAM dan pihak RI untuk saling membuka pintu perdamaian. Hal tersebut dibuktikan dengan terlaksananya Nota Kesepakatan di Helsinki yang merupakan prestasi yang telah dicapai oleh kedua belah pihak. Namun, perdamaian yang telah dicapai oleh kedua belah pihak tersebut masih meninggalkan masalah yang berkaitan dengan bekas anggota GAM itu sendiri.Dengan demikian pemerintah membentuk suatu program yang diharapkan nantinya bisa menyelesaikan masalah tersebut, progaram itu bernama DDR (Disarmament, Demobilitation, dan Reintegration).Tujuan dari sebuah proses DDR itu sendiri berkaitan dengan faktor keamanan yang ada di Aceh. Akan tetapi dalam pelaksanaannya, proses ini banyak sekali mengalami hambatan-hambatan. Hambatan-hambatan itu diantaranya di bidang ekonomi, di bidang Polhukam (Politik, hukum dan keamanan) maupun di bidang sosial budaya. Dalam bidang ekonomi, konflik bersenjata mengakibatkan kerusakan dan kerugian infrastruktur fisik, sosial maupun ekonomi. Hal tersebut akan berdampak pada tingkat pendapatan masyarakat Aceh yang menurun yang nantinya akan berdampak pula pada tingginya tingkat pengangguran. Inilah salah satu tantangan DDR yang harus dihadapi. Dalam bidang Polhukam, hambatan yang ada yaitu program DDR kekurangan alat-alat untuk menegakkan aturan karena tidak adanya angkatan kepolisian pada saat dilaksanakannya DDR tersebut. Dan dalam bidang sosial budaya, hambatannya lebih mengarah pada bagaimana para mantan anggota GAM dapat memperoleh manfaat dari pekerjaan yang sudah mereka ciptakan dan keinginan mereka untuk mendapatkan kehidupan yang lebih layak.
Selain program DDR (Disarmament, Demobilitation, dan Reintegration), pemerintah juga membetuk suatu badan untuk menunjang pelaksanaan program DDR, badan tersebut bernama BRDA (Badan Reintegrasi Damai Aceh). Badan ini merupakan salah satu kunci yang dapat menyelasaikan persoalan proses reintegrasi di Aceh. Akan tetapi, lagi-lagi dalam proses pelaksanaannya, BRDA ternyata relative kurang optimal. Kekurangan tersebut disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya BRDA dianggap sebagai lembaga yang tidak jelas payung hukumnya, BRDA belum bisa mengelola anggaran sendiri, dan yang terakhir BRDA belum segera menyelesaikan cetak-biru perdamaian dan pembangunan, yang notabene cetak-biru ini merupakan petunjuk atau mengetahui sudah sampai mana proses perdamaian berlangsung. Itulah hambatan-hambatan yang ada, yang menjadi titik perhatian pemerintah pusat untuk segera menanggapi dan segera ditindaklanjuti secara bijaksana dan terarah.
Dari penjabaran masalah di atas, menurut saya hal tersebut dapat kita kaitkan dengan teori Fungsionalisme Struktural miliknya Robert K. Merton. Menurut Merton, suatu fungsi ada yang bersifat manifest (fungsi yang diharapkan) dan fungsi laten (yang tidak diharapkan). Ada juga
Tidak ada komentar:
Posting Komentar