Rabu, 30 November 2011

Mengembangkan Budaya Sekolah Guna Meningkatkan Kinerja Sekolah

MAKALAH

Mengembangkan Budaya Sekolah Guna Meningkatkan Kinerja Sekolah
Di susun guna memenuhi tugas mid semester Bimbingan & Konseling










DISUSUN OLEH :
ZUHRIAN HENDRI KURNIAWAN
3401409040


SOSIOLOGI ANTROPOLOGI
FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2010

KATA PENGANTAR
         Puji syukur saya ucapkan atas kehadirat Allah SWT, karena dengan rahmat dan karunia-Nya saya masih diberi kesempatan untuk menyelesaikan makalah ini. Tidak lupa saya ucapkan kepada dosen pembimbing dan teman-teman yang telah memberikan dukungan dalam menyelesaikan makalah ini.
        Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak kekurangan, oleh sebab itu penulis angat mengharapkan kritik dan saran yang membangun. Dan semoga dengan selesainya makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan teman-teman. Amin

Penulis


















DAFTAR ISI
  • Kata Pengantar
  • Daftar isi
  • Bab I   Pendahuluan
-latar belakang
-Rumusan masalah
  • Bab II   Kajian Teoritik
  • Bab III  Pembahasan
  • Bab IV  Penutup
Kesimpulan
      Saran















BAB I

Latar Belakang
Permasalahan kualitas pendidikan di negara ini masih berada dalam potret yang buram dan masih tertinggal dari negara-negara tetangga. Diakui atau tidak, krisis multidimensional yang melanda negeri ini membuka mata kita terhadap mutu pendidikan manusia Indonesia. Walaupun penyebab krisis itu sendiri begitu kompleks, namun tak dipungkiri bahwa penyebab utamanya adalah sumber daya manusia yang kurang bermutu. Jangan harap bicara soal profesionalisme, terkadang sikap manusia Indonesia yang paling merisaukan adalah seringnya bertindak tanpa moralitas.
Implikasi kualitas pendidikan rendah ini terhadap sumber daya manusia sangat jelas sekali. Kemampuan sumber daya manusia Indonesia jauh tertinggal, hal ini dapat dilihat dari hasil riset Ciputra yang menyatakan bahawa Indonesia hanya baru mempunyai 0,18% pengusaha dari jumlah penduduk sedangkan syarat untuk menjadi negara maju minimal 2% dari jumlah penduduk harus ada pengusaha. Saat sekarang singapura sudah mempunyai 7% dan Amerika Serikat 5% dari jumlah penduduk. Hasil survey tahun 2007 World Competitiveness Year Book memaparkan daya saing pendidikan dari 55 negara yang disurvei, Indonesia berada pada urutan 53. Jika dilihat dari survei Times Higher Education Supplement (THES) 2006, perguruan tinggi Indonesia baru bisa menjebol deretan 250 yang diwakili oleh Universitas Indonesia, kjaualitas ini berada di bawah prestasi Universitas Kebangsaan Malaysia (UKM) yang menempati urutan 185. Kumudian pada tahun 2007 menurut survei THES perguruan tinggi di Indonesia masih belum dapat menyaingi pergurun tinggi seperti di Singapura, Thailand dan seterusnya.
Rumusan Masalah
1. Bagaimana definsi budaya sekolah secara komprehensif
2. Apa saja faktor-faktor budaya sekolah untuk meningkatkan pemeliharaan kehidupan akademik di sekolah
3. Bagaimana cara-cara pengembangan budaya sekolah
4. Apa saja nilai-nilai yang muncul dan memantapkan keyakinan-keyakinan di dalam komunitas sekolah





BAB II
Kajian Teoristik

TEORI BIROKRASI


Dikemukakan oleh “MAX WEBER” dalam buku “The Protestant Ethic and Spirit of Capitalism” dan “The Theory of Social and Economic Organization”.
Istilah BIROKRASI berasal dari kata LEGAL_RASIONAL:
“Legal” disebakan adanya wewenang dari seperangkat aturan prosedur dan peranan yang dirumuskan secara jelas.  Sedangkan “Rasional”  karena adanya penetapan tujuan yang ingin dicapai.
Karekteristik-karekteristik birokrasi menurut Max Weber:
©      Pembagian kerja
©      Hirarki wewenang
©      Program  rasional
©      Sistem Prosedur
©      Sistem Aturan hak kewajiban
©      Hubungan antar pribadi yang bersifat impersonal

JAMES D. MOONEY & ALLEN REILLY :1931) Menerbitkan sebuah buku “ONWARD INDUSTRY” inti dari pendapat mereka adalah “koordinasi merupakan factor terpenting dalam perencanaan organisasi”. Tiga prinsip yang harus diterapkan dalam sebuah organisasi menurut mereka adalah:
a.       Prinsip Koordinasi
b.      Prinsip Skalar & Hirarkis
c.       Prinsip Fungsional

TEORI MOTIFASI
             Motivasi merupakan satu penggerak dari dalam hati seseorang untuk melakukan atau mencapai sesuatu tujuan. Motivasi juga bisa dikatakan sebagai rencana atau keinginan untuk menuju kesuksesan dan menghindari kegagalan hidup. Dengan kata lain motivasi adalah sebuah proses untuk tercapainya suatu tujuan. Seseorang yang mempunyai motivasi berarti ia telah mempunyai kekuatan untuk memperoleh kesuksesan dalam kehidupan..
Motivasi dapat berupa motivasi intrinsic dan ekstrinsic. Motivasi yang bersifat intinsik adalah manakala sifat pekerjaan itu sendiri yang membuat seorang termotivasi, orang tersebut mendapat kepuasan dengan melakukan pekerjaan tersebut bukan karena rangsangan lain seperti status ataupun uang atau bisa juga dikatakan seorang melakukan hobbynya. Sedangkan motivasi ekstrinsik adalah manakala elemen elemen diluar pekerjaan yang melekat di pekerjaan tersebut menjadi faktor utama yang membuat seorang termotivasi seperti status ataupun kompensasi.
Banyak teori motivasi yang dikemukakan oleh para ahli yang dimaksudkan untuk memberikan uraian yang menuju pada apa sebenarnya manusia dan manusia akan dapat menjadi seperti apa. Landy dan Becker membuat pengelompokan pendekatan teori motivasi ini menjadi 5 kategori yaitu teori kebutuhan,teori penguatan,teori keadilan,teori harapan,teori penetapan sasaran.
A. TEORI MOTIVASI ABRAHAM MASLOW (1943-1970)
Abraham Maslow (1943;1970) mengemukakan bahwa pada dasarnya semua manusia memiliki kebutuhan pokok. Ia menunjukkannya dalam 5 tingkatan yang berbentuk piramid, orang memulai dorongan dari tingkatan terbawah. Lima tingkat kebutuhan itu dikenal dengan sebutan Hirarki Kebutuhan Maslow, dimulai dari kebutuhan biologis dasar sampai motif psikologis yang lebih kompleks; yang hanya akan penting setelah kebutuhan dasar terpenuhi. Kebutuhan pada suatu peringkat paling tidak harus terpenuhi sebagian sebelum kebutuhan pada peringkat berikutnya menjadi penentu tindakan yang penting.
 





• Kebutuhan fisiologis (rasa lapar, rasa haus, dan sebagainya)
• Kebutuhan rasa aman (merasa aman dan terlindung, jauh dari bahaya)
• Kebutuhan akan rasa cinta dan rasa memiliki (berafiliasi dengan orang lain, diterima, memiliki)
• Kebutuhan akan penghargaan (berprestasi, berkompetensi, dan mendapatkan dukungan serta pengakuan)
• Kebutuhan aktualisasi diri (kebutuhan kognitif: mengetahui, memahami, dan menjelajahi; kebutuhan estetik: keserasian, keteraturan, dan keindahan; kebutuhan aktualisasi diri: mendapatkan kepuasan diri dan menyadari potensinya)
Bila makanan dan rasa aman sulit diperoleh, pemenuhan kebutuhan tersebut akan mendominasi tindakan seseorang dan motif-motif yang lebih tinggi akan menjadi kurang signifikan. Orang hanya akan mempunyai waktu dan energi untuk menekuni minat estetika dan intelektual, jika kebutuhan dasarnya sudah dapat dipenuhi dengan mudah. Karya seni dan karya ilmiah tidak akan tumbuh subur dalam masyarakat yang anggotanya masih harus bersusah payah mencari makan, perlindungan, dan rasa aman.
B. TEORI MOTIVASI HERZBERG (1966)
Menurut Herzberg (1966), ada dua jenis faktor yang mendorong seseorang untuk berusaha mencapai kepuasan dan menjauhkan diri dari ketidakpuasan. Dua faktor itu disebutnya faktorhigiene (faktor ekstrinsik) dan faktor motivator (faktor intrinsik). Faktor higiene memotivasi seseorang untuk keluar dari ketidakpuasan, termasuk didalamnya adalah hubungan antar manusia, imbalan, kondisi lingkungan, dan sebagainya (faktor ekstrinsik), sedangkan faktor motivator memotivasi seseorang untuk berusaha mencapai kepuasan, yang termasuk didalamnya adalah achievement, pengakuan, kemajuan tingkat kehidupan, dsb (faktor intrinsik).
C. TEORI MOTIVASI DOUGLAS McGREGOR
Mengemukakan dua pandangan manusia yaitu teori X (negative) dan teori y (positif), Menurut teori x empat pengandaian yag dipegang manajer
a.       karyawan secara inheren tertanam dalam dirinya tidak menyukai kerja
b.      karyawan tidak menyukai kerja mereka harus diawasi atau diancam dengan hukuman untuk mencapai tujuan.
c.       Karyawan akan menghindari tanggung jawab.
d.      Kebanyakan karyawan menaruh keamanan diatas semua factor yang dikaitkan dengan kerja.

Kontras dengan pandangan negative ini mengenai kodrat manusia ada empat teori Y :
  1. karyawan dapat memandang kerjasama dengan sewajarnya seperti istirahat dan bermain.
  2. Orang akan menjalankan pengarahan diri dan pengawasan diri jika mereka komit pada sasaran.
  3. Rata rata orang akan menerima tanggung jawab.
  4. Kemampuan untuk mengambil keputusan inovatif.

D. TEORI MOTIVASI VROOM (1964)
Teori dari Vroom (1964) tentang cognitive theory of motivation menjelaskan mengapa seseorang tidak akan melakukan sesuatu yang ia yakini ia tidak dapat melakukannya, sekalipun hasil dari pekerjaan itu sangat dapat ia inginkan. Menurut Vroom, tinggi rendahnya motivasi seseorang ditentukan oleh tiga komponen, yaitu:
• Ekspektasi (harapan) keberhasilan pada suatu tugas
• Instrumentalis, yaitu penilaian tentang apa yang akan terjadi jika berhasil dalam melakukan suatu tugas (keberhasilan tugas untuk mendapatkan outcome tertentu).
• Valensi, yaitu respon terhadap outcome seperti perasaan posistif, netral, atau negatif.Motivasi tinggi jika usaha menghasilkan sesuatu yang melebihi harapanMotivasi rendah jika usahanya menghasilkan kurang dari yang diharapkan
E. Achievement TheoryTeori achievement Mc Clelland (1961),
 yang dikemukakan oleh Mc Clelland (1961), menyatakan bahwa ada tiga hal penting yang menjadi kebutuhan manusia, yaitu:
• Need for achievement (kebutuhan akan prestasi)
• Need for afiliation (kebutuhan akan hubungan sosial/hampir sama dengan soscialneed-nya Maslow)
• Need for Power (dorongan untuk mengatur)
F. Clayton Alderfer ERG
 Clayton Alderfer mengetengahkan teori motivasi ERG yang didasarkan pada kebutuhan manusia akan keberadaan (exsistence), hubungan (relatedness), dan pertumbuhan (growth). Teori ini sedikit berbeda dengan teori maslow. Disini Alfeder mngemukakan bahwa jika kebutuhan yang lebih tinggi tidak atau belum dapat dipenuhi maka manusia akan kembali pada gerakk yang fleksibel dari pemenuhan kebutuhan dari waktu kewaktu dan dari situasi ke situasi. 










BAB III
Pembahasan

Akar permasalahan rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia tidak lagi berada pada satu faktor, tetapi digerogoti oleh berbagai faktor yang sudah komplikasi, sehingga untuk membenahi dunia pendidikan di Indonesia perlu keseriusan yang tinggi dan strategi yang jenius. Salah satu faktor untuk mencapai tujuan pendidikan sekolah dan peningkatan kinerja sekolah perlu dibangun budaya organisasi di sekolah. Menurut Deal dan Peterson (1999), budaya sekolah adalah sekumpulan nilai yang melandasi perilaku, tradisi, kebiasaan keseharian, dan simbol-simbol yang dipraktikkan oleh kepala sekolah, guru, petugas administrasi, siswa, dan masyarakat sekitar sekolah. Budaya sekolah merupakan ciri khas, karakter atau watak, dan citra sekolah tersebut di masyarakat luas.
Sebagaimana disampaikan oleh Stephen Stolp (1994) tentang School Culture yang dipublikasikan dalam ERIC Digest, dari beberapa hasil studi menunjukkan bahwa budaya organisasi di sekolah berkorelasi dengan peningkatan motivasi dan prestasi belajar siswa serta kepuasan kerja dan produktivitas guru. Begitu juga, studi yang dilakukan Leslie J. Fyans, Jr. dan Martin L. Maehr tentang pengaruh dari lima dimensi budaya organisasi di sekolah yaitu : tantangan akademik, prestasi komparatif, penghargaan terhadap prestasi, komunitas sekolah, dan persepsi tentang tujuan sekolah menunjukkan survey terhadap 16310 siswa tingkat empat, enam, delapan dan sepuluh dari 820 sekolah umum di Illinois, mereka lebih termotivasi dalam belajarnya dengan melalui budaya organisasi di sekolah yang kuat. Sementara itu, studi yang dilakukan, Jerry L. Thacker and William D. McInerney terhadap skor tes siswa sekolah dasar menunjukkan adanya pengaruh budaya organisasi di sekolah terhadap prestasi siswa. Studi yang dilakukannya memfokuskan tentang new mission statement, goals based on outcomes for students, curriculum alignment corresponding with those goals, staff development, and building level decision-making.
Dari hasil kajian empiris menunjukan bahwa peningkatan kinerja sekolah sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai budaya yang dikembangkan dalam sekolah tersebut, dimana nilai-nilai yang dikembangkan di sekolah, tentunya tidak dapat dilepaskan dari keberadaan sekolah itu sendiri sebagai organisasi pendidikan, yang memiliki peran dan fungsi untuk mengembangkan, melestarikan dan mewariskan nilai-nilai budaya kepada para siswanya. Budaya sekolah terbentuk dari eratnya kegiatan akademik dan kesiswaan, seperti dua sisi mata uang logam yang tak dapat dipisahkan. Melalui kegiatan ekstrakurikuler yang beragam dalam bidang keilmuan, keolahragaan, dan kesenian membuat siswa dapat menyalurkan minat dan bakatnya masing-masing.     
Upaya untuk mengembangkan budaya di sekolah tidak lepas dari peran kepala sekolah selaku leader dan manajer dalam sekolah tersebut. Dalam hal ini, pimpinan sekolah hendaknya mampu melihat lingkungan organisasinya secara holistik, sehingga diperoleh kerangka kerja yang lebih luas guna memahami masalah-masalah yang sulit dan hubungan-hubungan yang kompleks di sekolahnya. Melalui pendalaman pemahamannya tentang budaya sekolah, maka ia akan lebih baik lagi dalam memberikan penajaman tentang nilai, keyakinan dan sikap yang penting guna meningkatkan stabilitas dan pemeliharaan lingkungan belajarnya.
Budaya Sekolah Definisi
Perumusan tentang definisi budaya sekolah telah ditawarkan oleh para ahli secara beragam. Namun, secara umum definisi mereka berangkat dari pengertian budaya organisasi, yang berarti hubungan sosial yang mengendalikan organisasi secara bersama-sama. Oleh karena itu, sebaiknya definisi budaya sekolah mendasarkan kepada (a) perspektif organisasional; (b) penelitian terhadap budaya sekolah; dan (c) cara-cara peningkatan kinerja staf atau keberhasilan murid.
Adapun definisi budaya sekolah dapat dilacak dari beberapa literatur-literatur tentang budaya sekolah dan iklim kerja guru untuk meningkatkan produktifitas sekolah, sebagaimana ditawarkan oleh para ahli berikut:
1)Butler (1995)
Kolaborasi dan kolegialitas yang berharga menjadi ciri utama budaya sekolah yang positif, sangat terkait dengan produktifitas
2)Peterson & Deal (1998)
Pola budaya sejak lama memiliki dampak kuat terhadap kinerja, dan membentuk cara orang untuk berpikir, bertindak, dan merasakan
3)Stolp (1996)
Budaya sekolah yang sehat dan kuat berkorelasi sangat kuat dengan peningkatan prestasi dan motivasi murid, produktifitas dan kepuasan guru
4)NCES (1998)
Tuntutan terhadap guru baru pada pokoknya sebagai akibat akibat para guru memilih meninggalkan pekerjaannya dalam jumlah yang tinggi daripada para profesional lainnya
5)Deal and Kennedy (1982)
Gunakan budaya sebagai perumpamaan tentang nilai dan ritual yang mengajarkan manusia tentang kesinambungan, tradisi, identitas, makna, & signifikansi, dan juga sistem norma yang memberikan arah dan struktur kehidupan mereka
6)Betancourt-Smith, Inman, & Marlow (1994); Taylor & Tashakkori (1994); Billingsley (1993); Chittom & Sistrunk (1990),
sebgai peneliti mempertautkan sejumlah aspek budaya sekolah dengan kepuasan kerja dan pemeliharaan guru  administrative leadership and support untuk peningkatan kinerja sekolah.
7)Kim & Loadman (1994); Taylor & Tashakkori (1994); Billingsley (1993); Odell & Ferraro (1992)
 ïƒ  Interaksi dan dukungan emosional dari para pengajar dan kolega
8)Weiss (1999)
Kolaborasi yang kuat dan kemampuan membuat keputusan yang berkorelasi dengan semangat kerja yang tinggi, komitmen yang kuat untuk mengajar, dan kemauan untuk tetap menekuni tugas mengajar. Ia menambahkan pula bahwa budaya sekolah dan kepemimpinan juga dapat membentuk kemauan para guru pemula bekerja keras, melaksanakan pengajaran sebagai pilihan karir, dan berencana untuk tetap mengajar.James Spradly Budaya tersusun dari perilaku yang dapat dipelajari oleh komunitas manusiwawi. Ia merupakan pengetahuan yang dapat digunakan orang untuk memaknai pengalaman dan perilaku sosial.
9)Nieto, S. (2003) Affirming Diversity: The Sociopolitical contexts of Multicultural Education. Boston: Allyn Bacon Kondisi dan iklim sekolah berkait dengan sikap dan keyakinan terhadap pendidikan yang dapat memperkuat belajar.
10)Cushner, K. (1999) Human Diversity in Action. Boston: McGraw-Hill College
Mendeskripsikan budaya ke dalam dua persepsi penting, yaitu: persepsi subyektif dan persepsi konkrit. Persepsi subyektif meliputi aspek-aspek : lingkungan (environment), peran (roles), norma (norms), sikap (attitude), nilai (values), cita-cita (ideals) dan sebab-akibat (cause and effect). Adapun persepsi konkrit mencakup aspek-aspek: artifak (artifacts) dan produk (products).
11)Cummins, J. (2000).
Language, Power, ad Pedagogy. Clevedon: Multilingual Mattersress), seni (art), makanan (food), musik (music), peranan keluarga (family roles), waktu (time), nilai (values), keyakinan (beliefs), pemecahan masalah (problem solving) dan proses berpikir (thought processes)

Unsur-unsur Budaya Sekolah
Berdasar konseptualisasi dan definisi para ahli di atas dapat dijaring dan diikhtisarkan beberapa unsur penting budaya sekolah, sebagai berikut:
1. Seperangkat norma di sekolah yang menekankan nilai upaya dan prestasi akademik
2. Terlaksannya seperangkat harapan yang menekankan kepada pentingnya anggota staf yang   bersemangat meraih keunggulan dan murid yang menampilkan potensinya
3. Sistem aktifitas simbolik dan sangsi yang mendorong dan upaya penghargaan, perbaikan, dan pelaksanaan pada saat ketidakteraturan
Prinsip-prinsip Pengembangan Budaya Sekolah
Mengingat pentingnya kontribusi budaya sekolah terhadap peningkatan kinerja sekolah, apa yang dapat kita pelajari dari hal-hal di atas yang akan berpengaruh positif terhadap pekerjaan kita besuk? Pengembangan budaya sekolah dapat diarahkan kepada prinsip-prinsip berikut:
1)Adanya penekanan terhadap upaya peningkatan mutu dan prestasi akademik
2)Adanya keyakinan bahwa semua murid dapat berprestasi
3)Pengembangan dan inovasi guru secara terus-menerus
4)Penciptaan lingkungan belajar yang nyaman dan aman
Pendekatan Pengembangan Budaya Sekolah
Melihat diversitas dan kompleksitas budaya sekolah, maka upaya pengembangannya bersifat fleksibel, kontekstual, dan lokal. Upaya-upaya tersebut dapat dilakukan kepala sekolah melalui serangkaian aktifitas berikut:
Ø  Mendorong kerjasama/kolaborasi
Ø   Memantapkan hubungan antara misi dan praktik dengan penuh antusiasme, fasilitasi, memenuhi kebutuhan guru dan murid, memahami motivasi karyawan, dan mendorong pertumbuhan personil
Ø   Memandang persoalan sebagai peluang dan memfokuskan solusinya
Ø  Berlaku Kreatif
Ø   Merangsang pelaksanaan mengajar yang baik
Ø  Memikirkan orang lain\
Ø   Menciptakan jaringan yang mengurangi isolasi guru dan mendorong tukar pikir profesional
Ø  Tetap memfokuskan kepada outcome, yakni kinerja murid (student performance)
Ø  Pemilihan staf secara tepat
Ø  Pengangkatan kepemimpinan secara formal
Ø  Bekerjasama dengan pemimpin informal
Ø  Menangani konflik antara para pemimpin informal
Ø  Komunikasi dua-arah secara teratur



Problematika Pengembangan Budaya Sekolah
Disadari bahwa pengembangan budaya sekolah bersifat kontekstual dan lokal. Namun demikian, secara empiris kehidupan pendidikan di sekolah banyak diwakili oleh munculnya gejala-gejala social-kultur-akademik yang sering mempengaruhi kinerja sekolah, khususnya prestasi akademik. Gejala-gejala tersebut, diantaranya berupa :
(a) Hubungan (Relationships), (b) Ras, Kultur, dan Kelas (Race, Culture, and Class), (c) Nilai (Values), (d) Belajar & Mengajar (Teaching & Learning), (e) Keselamatan (Safety), (f) Lingkungan Fisik (Physical Environment), dan (g) Apatisme, Harapan, & Perubahan (Despair, Hope, & Change).
School Culture Survey (Grunert & Valentine, 1998) menetapkan 6 faktor budaya sekolah, yang meliputi: Kepemimpinan Kolaboratif (Collaborative Leadership), Kolaborasi Guru (Teacher Collaboration), Pengembangan Profesional (Professional Development), Kesatuan Tujuan (Unity of Purpose), Dukungan Kolegial (Collegial Support), dan Kemitraan Belajar (Learning Partnerships).
Peristiwa di sekolah sebagian besar waktunya digunakan untuk berinteraksi antar warga sekolah. Oleh karena itu, komunikasi menjadi unsur penting dalam pengembangan budaya sekolah, yang dapat dipergunakan untuk menyaring persepsi komunitas sekolah (perceptual filters), penyusunan jenjang simpulan (ladder of inference), dan pengendalian keterampilan (interpersonal (interpersonal skills).
Saat ini, di tengah memburuknya mutu pendidikan di Indonesia, dipandang penting untuk memulihkan kepercayaan kepada masyarakat. Secara cultural, membangun kepercayaan dapat diupayakan melalui pemeliharaan iklim psiko-social, yang meliputi hal-hal berikut:
Penumbuhan sikap empati (empathy), yang ditunjukkan dengan:
ü  Kemampuan menempatkan diri pada perasaan orang lain
ü  Melihat situasi dari perspektif/sudut pandang orang lain
ü  Melihat melalui penglihatannya
ü  Mengenali dari mana ia datang/berasal
ü  Bersifat kognitif memahami perasaan orang lain
Pembudayaan rasa Hormat (Respect)
§  Menunjukkan hormat dan dukungan kepada orang lain
§  Mendengarkan secara reflektif, tidak menghakimi
§  Menunjukkan kepercayaan kepada orang lain atas kemampuannya memecahkan masalahnya sendiri
Penciptaan iklim kehangatan (Warmth)
v  Merawat (caring) hubungan yang harmonis
v  Berkomunikasi melalui cara-cara nonverbal melalui isyarat, postur, lagu, dan ekspresi yang tepat
v  Mengembangkan Interaksi verbal sebagai wujud perhatian dan kepentingan pribadi
Penumbuhan Ketulusan (Genuineness)
o   Mercerminkan kejujuran
o   Bertanggungjawab terhadap prilaku dirinya sendiri
o   Mencerminkan sikap legawa pada saat terjadi ketidaksesuaian antara perasaan dalam (inner feelings) dan ungkapan dalam;
o   Menunjukkan ketulusan dalam hubungan interpersonal akan terus meningkat sepanjang waktu
Pengembangan Kedekatan Diri (Self-Disclosure)
·         Berbagi informasi pribadi di luar aktifitas dan kepentingan sekolah, situasi yang menantang, kesalahan-kesalahan yang dibuat
·         Melegakan perasaan
Pemeliharaan Komitmen (Keeping Commitments)
Penumbuhan sikap konsisten (Behaving Consistently)
Penumbuhan rasa percaya diri (Maintaining Confidentiality)
Kejelasan Visi dan keluasan akses (Being Visible and Accessible)
Dalam skala lokal di sekolah, kepercayaan juga harus dibangun secara bersama-sama dengan cara menghindari factor-faktor yang berpotensi merusak kepercayaan dalam berkomunikasi. Faktor-faktor tersebut dapat mencakup hal-hal berikut:
·         Tidak Sopan Santun (Discourteous)
·         Tidak Hormat (Disrespectful)
·         Memaksakan Kehendak (Makes Value Judgments)
·         Berlebihan (Overreacts)
·         Berbuat Sewenang-wenang (Acts Arbitrarily)
·         Mengancam (Threatens)
·         Tidak Peka (Is Personally Insensitive)








BAB IV
Penutup

kesimpulan
Dari berbagai uraian di atas, pengembangan budaya sekolah mensyaratkan adanya kolaborasi dan kolegialitas.
Penajaman tentang nilai, keyakinan dan sikap, harus diimplementasikan dengan cara memperluas pengetahuan melalui minat baca bagi semua warga sekolah, menciptakan budaya rutinitas bagi guru dalam menulis bahan ajar dan melakukan studi banding ke industri sehingga para guru akan memperoleh wawasan untuk melakukan pembenahan kualitas bahan ajar dan pengayaan metode pendekatan praktis pada proses belajar mengajar di sekolah. Pada kesempatan yang lain, industri juga dilibatkan dalam validasi bahan ajar dan uji kompetensi siswa. Selain hal tersebut, semua warga sekolah perlu disiplin dalam menegakan aturan terhadap pelanggaran di lingkungan sekolah. Apabila budaya sekolah dapat dikembangkan maka efektivitas dan produktivitas sekolah akan meningkat dan peningkatan tersebut akan berdampak pada peningkatan mutu lulusan.














DAFTAR PUSTAKA

Depdiknas. 2000. Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah. Jakarta: Depdiknas.

Peterson, K.D. & Deal, T.E. 1998. How leaders influence the culture of schools. Educational Leadership. 56 (1), 28-30.




















Tidak ada komentar:

Posting Komentar